Kurang dari 3 bulan lagi, Ramadhan menyapa kita. Bahagia tentunya jika kita bisa bertemu kembali dengan bulan mulia ini. Tapi coba kamu ingat-ingat–terutama perempuan, nih–apa masih ada hutang puasa yang belum dibayar? Namanya hutang ya wajib dibayar, dong, karena kalo \’mangkir\’, ada konsekuensi yang harus diterima.
Yang Mendapat Keringanan Tidak Puasa
Hukum puasa Ramadhan adalah wajib, tapi Allah memberi keringanan kepada kelompok yang memiliki udzur berikut untuk tidak berpuasa.
- Orang yang sakit berat
- Musafir (bepergian jauh)
- Wanita hamil
- Wanita menyusui
Ada pula golongan yang dilarang berpuasa (dan shalat), yaitu perempuan yang tengah datang bulan (menstruasi).
Namun, hari-hari di saat mereka tidak berpuasa Ramadhan itu dihitung sebagai hutang puasa. Maka wajib bagi mereka melunasi hutang tersebut pada saat udzur mereka telah tiada. Istilahnya adalah qadha\’.
Waktu Pelunasan Hutang Puasa
Para ulama fiqih sepakat bahwa qadha’ tersebut paling lambat harus dikerjakan pada bulan Sya’ban sebelum masuk Ramadhan tahun berikutnya.
Hal ini berdasarkan hadits Aisyah radhiallahu \’anha, “Dahulu saya memiliki hutang shaum Ramadhan, namun saya tidak bisa membayarnya kecuali pada bulan Sya’ban, karena kesibukan saya mengurus Rasulullah.” (HR. Bukhari No. 1950 dan Muslim No. 1146)
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, “Dari kesungguhan Aisyah RA untuk melunasi hutang puasa Ramadhan pada bulan Sya’ban ini bisa disimpulkan, bahwasanya tidak boleh menunda qadha’ puasa Ramadhan sampai datangnya Ramadhan tahun berikutnya.”
Konsekuensi Menunda Bayar Hutang Puasa
Jika seorang menunda pelunasan hutang sampai datang Ramadhan berikutnya, maka hal itu tidak terlepas dari dua kondisi; menunda karena ada dan tanpa adanya udzur syar’i.
An-Nawawi berkata, “Jika ia memiliki udzur dalam menunda qadha’ karena terus-menerus safar, sakit, atau semisalnya; ia boleh menunda qadha’ selama masih memiliki udzur. Meskipun hal itu berlanjut beberapa tahun. Atas penundaan qadha’ tersebut, ia tidak wajib membayar fidyah, meskipun berulang kali datang beberapa bulan Ramadhan.”
Jika ia tidak melunasi hutang puasa Ramadhan, karena ia malas atau meremehkan perkara qadha’ puasa, maka ia wajib bertaubat, karena penundaan qadha’ puasa tanpa adanya udzur syar’i adalah sebuah dosa besar.
Namun para ulama berbeda pendapat apakah selain terkena kewajiban qadha’, ia juga terkena fidyah? Dalam hal ini ada dua pendapat, yaitu:
- Ia wajib melunasi hutang shaum (men-qadha’) dan membayar fidyah.
- Ia wajib melunasi hutang shaum (men-qadha’), dan tidak ada kewajiban membayar fidyah.
Wajib Membayar Qadha’ dan Fidyah
Imam Ad-Daraquthni, Abdurrazzaq, Sa’id bin Manshur, dan Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Umar bin Khathab, Abu Hurairah, dan Ibnu Abbas RA bahwa mereka memfatwakan selain qadha’, ia juga harus membayar fidyah.
Fidyah di sini adalah setiap hari ia memberi makan kepada satu orang miskin.
Pendapat ini diikuti oleh para ulama tabi’in seperti Atha’ bin Abi Rabbah, Qatadah, Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar ash-Shiddiq, Mujahid, Maimun bin Mihran, Sa’id bin Jubair, dan Ibnu Syihab az-Zuhri.
Adapun ulama madzhab yang memegangi pendapat ini adalah Malik bin Anas, Asy-Syafi’i, dan Ahmad bin Hambal. Ini juga merupakan pendapat mayoritas ulama.
Imam Ath-Thahawi al-Hanafi meriwayatkan dari ulama tabi’in, Yahya bin Aktsam, ia berkata, “Saya mendapati pendapat ini dari enam ulama sahabat, dan saya tidak mendapati seorang pun pada generasi sahabat yang menyelisihi pendapat ini.”
Argumentasi mereka adalah:
- Fatwa para ulama sahabat, yang tiada seorang sahabat pun menyelisihi fatwa tersebut.
- Qiyas dalam masalah kafarat (denda). Orang yang menunda-nunda qadha’ shaum Ramadhan dikenai fidyah sebagai kafarat, diqiyaskan kepada orang yang secara sengaja makan di siang hari Ramadhan tanpa ada udzur. Kesamaan ‘illah (alasan yang melatar belakangi sebuah hukum syar’i) antara kedua kasus tersebut adalah meremehkan shaum Ramadhan.
\’Hanya\’ Membayar Qadha’ tanpa Fidyah
Ulama tabi’in Hasan al-Bashri dan Ibrahim an-Nakha’i berpendapat orang yang menunda-nunda qadha’ shaum Ramadhan sampai datang Ramadhan tahun berikutnya, tanpa adanya udzur, maka ia “hanya” terkena kewajiban qadha’. Namun ia tidak terkena kewajiban fidyah.
Ulama madzhab yang memegangi pendapat ini adalah Imam Abu Hanifah dan Daud azh-Zhahiri.
Mereka berdalil dengan:
- Firman Allah, “…hendaklah ia mengganti shaum pada beberapa hari yang lain (di luar Ramadhan).” (QS. Al-Baqarah : 184) Dalam ayat ini, Allah hanya memerintahkan qadha’, tanpa memerintahkan fidyah.
- Tidak ada hadits shahih yang memerintahkan fidyah bagi orang yang terlambat menqadha’ hutang shaum Ramadhan.
Kajian dan Tarjih Pendapat
Apabila kedua pendapat di atas dikaji dan dibandingkan, maka bisa ditarik kesimpulan sebagai berikut:
- Ayat Al-Qur’an tidak secara tegas memerintahkan fidyah bagi orang yang terlambat membayar hutang puasa Ramadhan.
- Al-Bukhari dan Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan bahwa tidak ada hadits marfu’ yang memerintahkan fidyah atas orang yang terlambat menqadha’ shaum Ramadhan.
- Maka orang yang terlambat menqadha’ puasa Ramadhan tanpa adanya udzur “hanya”lah terkena kewajiban menqadha’, tanpa wajib membayar fidyah.
- Adapun fatwa para ulama sahabat yang memerintahkan fidyah hendaknya dibawa kepada pengertian anjuran, bukan perintah wajib. Demikian penjelasan Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid dan Muhammad Shalih Al-Utsaimin saat mendudukkan fatwa para ulama sahabat tersebut.
- Sebagai langkah kehati-hatian, adalah lebih baik apabila ia melakukan qadha’ disertai membayar fidyah. Hal itu sebagai bentuk mengkompromikan dua pendapat dan keluar dari perbedaan pendapat mereka.
Wallahu a\’lam bish-shawwab.
Referensi: Kiblat.Net (Penulis: Fauzan)
Baca juga: Ustadz Disabilitas Pencetak Hafidz Al-Quran