Di masa ‘Abbasiyah akhir, tersebutlah seorang yang dulunya hamba sahaya telah menebus dirinya sendiri dengan bekerja untuk mendapatkan upah di saat hari libur dari tuannya. Dia dikaruniai seorang anak dan istrinya meninggal saat anak itu masi kecil. Ungkapan terkenal saat dia menjadi manusia merdeka dan mendapatkan uang dari majikannya kemudian mendapatkan istri dan anak, serta saat istrinya meninggal adalah “Kami tidak tahu, ini rahmat atau musibah. Kami hanya berprasangka baik kepada Allah.”
Ketika anaknya sudah menjelma menjadi seorang pemuda, Si Ayah berkata, “Mari kita persembahkan hidup kita hanya untuk Allah SWT dengan memberikan yang terbaik. Ayah mempunyai uang pemberian dan tabungan. Kita perlu kuda yang bagus untuk persiapan kita berperang.” Siangnya, mereka pulang dari pasar dengan menuntun seekor kuda perang berwarna hitam. Kuda itu gagah, sirainya mekar terurai, nampak sangat mengagumkan. Matanya berkilat, giginya rapi dan tajam, kakinya kekar dan kukuh. Ringkiknya pasti membuat kuda musuh bergidik. Semua tetangga datang mengaguminya, mereka menyentuhnya, mengulas surainya. “Kuda yang hebat! kami belum pernah melihat kuda seindah ini, luar Biasa! Mantap sekali! Berapa yang kalian habiskan untuk membeli kuda ini?” Ayah dan anak itu tersenyum simpul. “Ya, itu simpanan yang dikumpulkan seumur hidup.” Para tetangga mendengar jumlahnya, “Wah! Kalian masih waras atau sudah gila? Uang sebanyak itu dihabiskan untuk membeli kuda? Padahal rumah kalian nyaris roboh. Untuk makan besok saja belum tentu ada.” Kekaguman di awal tadi berubah menjadi cemoohan. “Tolol!” “Tak tahu diri!” “Pandir.” Itulah lontaran makian yang mereka terima. Namun ayah dan anak itu berkata, “Kami tak tahu ini rahmat atau musibah, tapi kami berprasangka baik kepada Allah.”
Para tetangga pulang. Ayah dan anak itu pun merawat kudanya dengan penuh cinta. Makanan si kuda dijamin kelengkapannya, Kuda pun dilatih keras, tapi tidak dibiarkan lelah tanpa mendapat hadiah. Mereka kini bukan lagi berdua, tetapi bertiga. Bersama-sama menanti panggilan Allah ke medan Jihad untuk menjemput takdir terindah.
Seminggu berlalu di suatu pagi buta ketika si ayah melihat ke kandang, dia tidak melihat apapun. Palang pintu patah, beberapa jeruji kayu hancur, Kuda itu hilang! Berduyun-duyun para tetangga datang untuk mengucapkan simpati. Mereka simpati pada cita-cita tinggi ayah dan anak tersebut. Akan tetapi mereka juga menganggap keduanya kelewatan. Kata mereka, “Ah, sayang sekali padahal kuda itu kuda terindah yang pernah kami lihat. Kalian memang tidak beruntung. Kuda itu hanya hadir sejenak untuk memuaskan cita-cita kalian, lalu Allah membebaskannya dan mengandaskan cita-cita kalian!” Si ayah tersenyum sambil mengelus kepala anaknya, lalu mereka serentak mengucapkan, “Kami tak tahu, ini rahmat atau musibah. Kami hanya berprasangka baik kepda Allah.”
Mereka pasrah, sang ayah menatap mata putranya, “Nak, dengan atau tanpa kuda, jika panggilan Allah datang kita harus menyambutnya.” Sang anak mengangguk mantap. Mereka kembali bekerja seolah-olah tak terjadi apa-apa. Tiga hari kemudian saat subuh menjelang, kandang kuda mereka gaduh dan riuh. Suara ringkikan bersahut-sahutan. Dengan terburu-buru ayah dan anak itu berlari ke kandang sambil mengenakan pakaiannya. Di kandang itu mereka menemukan kuda hitam yang gagah bersurai indah. tak salah lagi itu kuda mereka yang pergi tanpa izin tiga hari yang lalu. Namun kuda itu tidak sendirian, ada belasan kuda lain bersamanya. Kuda-kuda liar itu pasti kawan-kawannya. mereka datang dari padang rumput liar untuk bergabung di kandang si hitam. Mungkinkah si hitam mempunyai akal yang jernih? Mungkinkah si hitam yang merasakan layanan terbaik di kandang seorang bekas hamba mengajak kawan-kawannya bergabung? Atau tahukah mereka bahwa mendatangi kandang itu berarti bersiap bertaruh nyawa untuk kemuliaan agama Allah, kelak jika panggilan-Nya berkumandang? atau memang itu yang mereka inginkan?
“Bertasbih kepada Alah, segala yang di langit dan di bumi. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS As-Saff 61:2-3)
Ketika hari mulai terang, para warga datang dengan takjub. “Luar biasa! Kuda itu pergi untuk memanggil kawan-kawannya dan kini kembali membawa mereka menggabungkan diri!” Mereka semua mengucapkan selamat pada pemiliknya. “Wah! Kalian sekarang kaya raya! Kalian orang yang terkaya di kampung ini.” Tapi si pemilik kembali tersenyum. “Kami tidak tahu, ini rahmat atau musibah. Kami hanya berprasangka baik kepada Allah.”