Jumat, 31 Mei 2019. Atau hari ke-26 Ramadan 1440 H. Suasana sekitar Stadion Wembley, London, ramai dengan para pejalan kaki. Ada yang pulang kerja, sebagian lainnya hanya cuci mata.
Tiba-tiba satu suara menyeruak di tengah keramaian. Terdengar asing di telinga mereka, namun indah. Ratusan pasang mata mencari sumber suara. Di depan gerbang stadion berkapasitas 90 ribu bangku itu, tanya mereka bertemu jawabnya.
Seorang pria berjas rapi memegang mikrofon, tapi bukan bernyanyi. Suara yang membahana darinya itu adalah azan. Panggilan suci bagi umat Islam yang memberitahu masuknya waktu shalat fardu.
Sore itu, untuk pertama kalinya dalam sejarah, azan berkumandang di Wembley, stadion ikonik di dunia sepak bola.
Muslim manapun yang menyaksikan peristiwa ini langsung, atau sekadar membaca beritanya di laman internet, pasti merasa bangga dan haru. Pada program Open Iftar 2019 itu, kaum Muslimin mengenalkan Ramadan dan ajaran Islam kepada penduduk mayoritas.
Salah satunya mengumandangkan azan. Dengan diizinkannya azan di sana bermakna bahwa Islam semakin diterima di tengah non-Muslim.
Azan yang Tak Sanggup Dirampungkan
Berabad-abad sebelum Wembley, pada masa Khalifah Umar bin Khattab, ada satu azan yang juga menghentak jiwa insan yang mendengarnya. Saat lafaz “Allahu Akbar” pertama kali terdengar, Madinah seketika senyap. Semua menghentikan aktivitasnya. Lalu berduyun-duyun mereka berlari ke Masjid Nabawi.
Di satu menara, mata mereka terpaku pada sosok yang mengumandangkan panggilan suci itu. Dialah Bilal bin Rabah, muazin pertama kaum Muslimin. Kepergian Rasulullah pada tahun ke-11 Hijriyah meninggalkan luka mendalam untuk Bilal.
Setiap hendak azan, kelu lidahnya. Tak kuasa meneruskan. Maka Madinah ia tinggalkan. Bilal memilih mengikuti pasukan Fath Islami yang hendak berdakwah ke Syam. Lalu menetap di Homs, Syiria.
Hingga pada hari bersejarah itulah, Bilal kembali ke Madinah. Atas permintaan Khalifah Umar dan kedua cucu Nabi, Bilal melantunkan azan kembali. Bertahun-tahun kaum Muslimin kehilangan azan Bilal, maka demi mendengar suara yang mereka rindukan itu, sukacita dan nestapa bercampur aduk.
Ketika Bilal meneriakkan, “Asyhadu an laa ilaaha illallah,” seluruh Madinah berkumpul di Masjid Nabawi. Bahkan para gadis dalam pingitan pun keluar. Lalu saat Bilal mengumandangkan, “Asyhadu anna muhammadan Rasulullah,” pecahlah tangis penduduk Madinah.
Lantunan itu mengingatkan pada masa-masa saat Nabi tercinta masih bersama mereka. Tangis Umar bin Khattab terdengar paling keras. Bilal sendiri pun tak sanggup meneruskan azannya. Air mata membanjir, rongga dadanya tercekat dipenuhi kerinduan akan sosok agung Rasulullah.
Pada akhirnya, itulah azan pertama dan terakhir Bilal sepeninggal Nabi yang mulia. Azan yang tak pernah dirampungkannya, karena selalu mengingatkan Bilal pada sosok yang mengangkat derajatnya begitu tinggi: dari seorang hamba sahaya, menjadi hamba Allah Ta’ala.