MASJID Saka Tunggal yang berada di Desa Cikakak, Kecamatan Wangon, Kab. Banyumas, Jawa Tengah merupakan salah satu masjid tertua di Indonesia. Di guru saka atau pilar utama masjid, terukir tahun pembangunan masjid ini, yaitu tahun 1288 Masehi.
Masjid ini dibangun pada tahun 1288 Masehi, sebagaimana tertulis di prasasti yang terpahat di saka masjid. Masjid ini juga lebih tua dari kerajaan majapahit yang berdiri tahun 1294 Masehi, disinyalir masjid ini berdiri pada masa kerajaan Singasari. Masjid Saka Tunggal menjadi satu-satunya masjid di pulau Jawa yang dibangun jauh sebelum era Wali Songo yang hidup sekitar abad 15-16 Masehi. Jika dihitung mundur, masjid ini diperkirakan berdiri 2 abad sebelum era wali songo.
Sejarah Masjid Saka Tunggal seringkali dikaitkan dengan Tokoh penyebar Islam di Cikakak bernama Mbah Mustolih yang hidup di masa Kesultanan Mataram Kuno. Itu sebabnya, tidak heran bila unsur kejawen masih cukup melekat. Dalam syiar Islam yang dilakukan, Mbah Mustolih memang menjadikan Cikakak sebagai “markas” dengan ditandai pembangunan masjid dengan tiang tunggal tersebut.
Sayangnya, buku yang memuat riwayat pembangunan masjid ini telah hilang. Namun, masyarakat setempat telah meyakini bahwa Mbah Mustolih sebagai pendiri masjid yang terletak sekitar 30 kilometer dari Kota Purwokerto ini. Karenanya , setiap tanggal 27 Rajab diadakan ziarah di masjid dan membersihkan makam Mbah Mustolih.
Mbah Mustolih yang hidup semasa Kesultanan Mataram Kuno menjadikan Cikakak sebagai “markas” penyebaran agama Islam. Beliau membangun masjid dengan tiang tunggal tersebut. Mbah Mustolih dimakamkan tak jauh dari masjid yang didirikannya.
Masjid ini disebut Saka Tunggal karena hanya ada satu tiang penyangga yang berada di tengah bangunan utama masjid. Menurut pengurus masjid, hal itu melambangkan Keesaan Allah SWT.
Ada keunikan dalam pelaksanaan ibadah yang dilaksanakan di masjid ini dan sampai saat ini masih berlangsung, yaitu dalam pelaksanaan salat Jumat. Selama menunggu dan setelah salat Jumat, jemaah berzikir dan bershalawat dengan nada seperti melantunkan kidung Jawa. Dengan bahasa campuran Arab dan Jawa, tradisi ini disebut tradisi ura ura.
Selain itu, semua ibadah, termasuk shalat sunnah, dilakukan secara berjamaah. Tradisi lainnya adalah, masjid ini tetap mempertahankan tidak menggunakan pengeras suara. Masyarakat di sekitar masjid merupakan penganut ajaran Islam Aboge (Alif Rebo/Rabu Wage) yang diajarkan Raden Rasid Sayid Kuning dari Kerajaan Pajang. Dengan demikian, warga sekitar masjid tersebut hingga saat ini masih menganut ajaran Islam Aboge.
Selain keunikan yang masih terjaga, arsitektur Masjid Saka Tunggal juga masih terjaga hingga saat ini. Keaslian yang masih terpelihara adalah ornamen di ruang utama, khususnya di mimbar khotbah dan imam. Ada dua ukiran di kayu yang bergambar nyala sinar matahari yang mirip lempeng mandala. Gambar seperti ini banyak ditemukan pada bangunan-bangunan kuno era Singasari dan Majapahit.
Hutan-hutan di sekitar Masjid Saka Tunggal banyak dihuni kera-kera liar. Meskipun tergolong hewan liar, kera-kera tersebut jinak dan bersahabat selama tidak diganggu. Kera-kera tersebut sering turun ke sekitar masjid dan perumahan warga. Pengunjung bisa mengajak mereka bercengkerama dengan sekadar memberi kacang, pisang, atau makanan kecil lainnya.