Artikel

Sambut Ramadan Dengan Kebahagiaan

Pendahuluan

Dalam hitungan hari kita akan memasuki bulan Ramadhan 1446 H, bulan penuh rahmat dan ampunan Allah SWT. Bulan Ramadhan merupakan bulan yang dimuliakan Allah, kehadirannya senantiasa dinantikan dan dirindukan oleh setiap orang yang beriman.

Banyak nama yang dinisbatkan pada bulan Ramadhan, antara lain yaitu, Ramadhan sebagai bulan Al-Quran (syahrul Qur’an), bulan  kasih sayang (syahrul rahmah), bulannya Allah (syahrullah), bulan keberkahan (syahrun mubarok), bulan ampunan (syahrul maghfiroh), bulan pendidikan (syahrut tarbiyah), bulan diterima doa (syahrul ijabah) dan sebagainya. Hal tersebut menandakan keagungan dan keutamaan Ramadhan.

Dengan demikian, Ramadhan menjadi semacam bulan jamuan Allah SWT, dimana didalamnya disiapkan berbagai menu dan hidangan terbaik  bagi hamba-Nya yang beriman, sehingga mereka  siap menikmati jamuan tersebut. Oleh karena itu, kita patut bergembira dengan datangnya bulan Ramadhan.

Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang berbahagia dengan datangnya bulan Ramadhan, Allah haramkan jasadnya dari api neraka”.

Beliau juga bersabda: “Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang mendapatkan keberkahan, Allah SWT telah mewajibkan kepada kalian berpuasa di bulan Ramadhan. Pada bulan itu dibuka pintu-pintu langit dan ditutup pintu-pintu neraka Jahanam, dan syaitan-syaitan dibelenggu. Pada bulan tersebut terdapat satu malam yang nilainya lebih baik dibanding seribu bulan. Barang siapa yang tidak memperoleh kebajikan di bulan tersebut, maka ia tidak memperoleh kebajikan apapun”. (H.R. Nasai).

Kesiapan Spiritual

Para ulama sepakat bahwa menyambut Ramadhan dengan kegembiraan merupakan tanda keimanan. Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam kitabnya Lathaif Al-Ma’arif mengatakan:”Orang-orang shalih terdahulu berdoa selama enam bulan agar dipertemukan kembali dengan Ramadhan, dan mereka berdoa enam bulan berikutnya agar amalan mereka diterima oleh Allah.

Sikap para ulama salaf ini menunjukkan bahwa menyambut Ramadhan bukan sekadar formalitas, tetapi sebuah bentuk kesiapan spiritual untuk mengisi Ramadhan dengan sebaik-baiknya.

Kewajiban utama pada bada bulan suci Ramadhan adalah berpuasa sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah : 183: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan kepada umat sebelum kamu supaya kamu bertakwa”.

Secara lughawi, puasa bermakna menahan diri dari hal-hal yang menjadi kecendrungan nafsu (al-imsak ‘amma tunazi’u ilahi an-nafs).

Secara syar’i, puasa bermakna menahan diri dari hal-hal yang dapat membatalkan puasa yaitu makan, minum dan melakukan hubungan suami istri (memenuhi syahwat seksual) sejak fajar sampai terbenamnya matahari karena Allah SWT (al-imsak ‘anil mufthiraat atstsalas bayadhi anahar fa innaha mu’dhimu ma tasytahihil anfus)

Kalau kita perhatikan, sejatinya makan, minum dan hubungan suami istri merupakan hal yang boleh bahkan hak bagi setiap manusia.

Selama berpuasa Ramadhan sejak fajar sampai terbenamnya matahari ketiga hal tersebut dilarang dilakukan. Hal ini memberikan pelajaran dan penyadaran, bahwa kita sedang diuji, apakah kita patuh atau tidak terhadap perintah Allah SWT.

Bayangkan saja terhadap hal-hal yang sejatinya halal, kalau Allah SW berkehendak melarangnya harus kita jauhi, apalagi terhadap hal-hal yang secara nyata dilarangnya. Bagi orang yang beriman tidak ada pilihan lain kecuali mematuhi ketentuan Allah SWT .

Sebagai bentuk ibadah ritual, puasa merupakan ibadah yang sangat individual-rahasia (sirriyah), karena hanya Allah dan pelakunya saja yang mengetahui bagaimana kadar kualitas puasa yang sedang dilaksanakan.

Dalam hadist Qudsi dikatakan: “Seluruh amal anak Adam untuknya kecuali puasa, maka sesungguhnya puasa untukMu dan Aku yang akan memberikan balasannya” (H.R. Bukhori-Muslim). Sebagai ibadah sirriyah, puasa melatih kita untuk membentuk dan membangun kesadaran akan eksistensi Allah SWT, dalam arti bahwa apapun yang dilakukan hamba-Nya akan dilihat dan dinilai oleh Allah SWT (Q.S. Al-Zalzalah : 7-8).

Orang yang berpuasa akan senantiasa merasakan kehadiran Allah dalam kehidupannya, serta akan mampu merefleksikan iman dari lubuk hatinya ke dalam perilaku kehidupan yang nyata. Implikasi dari kesadaran tersebut akan melahirkan sikap jujur, selalu berbuat baik dan ikhlas.

Dengan demikian, puasa menjadi balai latihan spiritual menuju kualitas paripurna yaitu takwallah. Sebagai proses menuju ketakwaan, puasa mengandung  dimensi moral dan spiritual, baik dalam konteks hubungan dengan Allah (hablun minallah) maupun hubungan sesama manusia (hablun minannas).

Oleh karena itu, selama bulan  Ramadhan, kita selain harus memperbanyak ibadah ritual seperti menjaga shalat lima waktu, sholat sunat rawatib, shalat malam (tarawih), tadarus al-quran dan i’tikaf, juga memperbanyak ibadah sosial seperti berinfak, bersedekah, berbakti kepada orang tua, membantu meringankan beban keluarga, saudara, serta orang yang kurang/tidak mampu (dhuafa), serta  beramal jariyah untuk masjid/mushalla/sarana pendidikan Islam.

Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh sahabat Anas (R.A), dia berkata: “Adalah Rasullah SAW paling pemurah, dan beliau lebih pemurah lagi ketika di bulan Ramadhan ketika Jibril menemuinya, dan Jibril menemui Rasulullah SAW tiap malam lalu membacakan padanya Al-Qur’an. Maka sesungguhnya Rasulullah SAW ketika Jibril menjumpainya adalah sosok yang paling pemurah dengan kebaikan melebihi angin yang bertiup.” (H.R Bukhari-Muslim).

Dengan demikian, puasa merupakan grand training untuk membentuk pribadi bertakwa. Dengan bertakwa,  semoga Allah SWT memberikan jalan keluar dari perbagai persoalan hidup baik secara individual maupun kolektif, serta membukakan pintu rizki dengan tiada disangka-sangka (min haitsu la yahtasib).

Marhaban ya Ramadhan, semoga kita diberikan umur panjang, kesehatan dan keberkahan sehingga berjumpa kembali dengan bulan Ramadhan. Aamiin.


*Penulis adalah Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pengasuh Ponpes Madinatur Rahmah, Tenjo-Bogor.