Artikel

Satu Tahun Genosida Gaza, Apakah Dunia Mulai Menutup Mata?

Setahun sudah, dan Gaza tetap saja berdarah. Ratusan ribu nyawa sudah hilang, sebagian besar anak-anak dan perempuan, tapi sebentar, apakah dunia mulai terbiasa dengan berita semacam ini?

Angka-angka terlihat seperti deretan statistik. Kematian mereka hanyalah headline singkat, lalu dunia melanjutkan hidupnya. Tak sedikit yang mulai berkata, “Tak perlu berlebihan, toh esok pagi kita semua akan sibuk dengan urusan masing-masing.”

“Normalisasi” Kematian dalam Genosida Gaza

Setiap kali roket diluncurkan dan bom dijatuhkan, ada masa jeda singkat sebelum dunia bereaksi. Dan reaksinya pun semakin lambat. Seolah-olah komputer dengan prosesor jadul, butuh waktu lama untuk memroses informasi.

Kita tahu apa yang akan terjadi: ledakan, tangisan, derita, kemudian diam. Seolah-olah kematian di Gaza adalah sebuah siklus yang normal.

Padahal, Kementerian Kesehatan di Palestina memperkirakan jumlah korban tewas sudah mencapai 100.000 jiwa. Namun, memang sangat sulit untuk menelusuri angka pastinya, setelah sistem kesehatan di sana kolaps.

Namun, dengan pengeboman yang masih berlangsung bahkan hingga di jantung pengungsian, jumlah tersebut bukan rekaan semata.

Anak-anak Gaza, Generasi yang Dihancurkan

Berapa banyak anak yang harus kehilangan masa kecilnya, atau lebih buruk lagi, hidupnya? Mereka lahir di tengah kehancuran, tumbuh di antara puing-puing, dan berusaha bertahan hidup di bawah bayang-bayang kematian.

Tapi, entah bagaimana, hal ini sudah tidak lagi memicu amarah global. Mungkin mereka terlalu jauh, atau mungkin karena mereka hanyalah angka di balik layar televisi kita.

Dan kita, orang-orang yang duduk nyaman di rumah, berpikir, “Ah, kasihan sekali.” Tapi, kemudian kita sibuk lagi dengan rutinitas 24/7 kita. Siapa peduli? Dunia ini terus berputar, dan Gaza seolah jadi latar belakang yang tak terdengar.

Padahal, Euro-Med Human Rights Monitor melaporkan, setidaknya ada 24.000 – 25.000 anak-anak di Gaza yang menjadi yatim piatu akibat agresi Israel ini. Yang paling mengerikan, UNICEF sampai harus membuat istilah baru untuk anak-anak ini, yaitu WCNSF–wounded child, no surviving family (anak yang terluka, tidak ada keluarga yang selamat).

Dunia dan Kepura-puraan

Di panggung internasional, negara-negara besar memainkan “aksi panggung” mereka. Ada yang mengutuk, ada yang diam, dan ada yang secara terang-terangan membela Israel. Tapi, pada akhirnya, semua ini seolah hanya sekadar permainan politik tanpa hasil nyata.

Pernahkah bantuan kemanusiaan yang dijanjikan benar-benar sampai tepat waktu? Pernahkah kita melihat tindakan konkret yang benar-benar menghentikan penderitaan ini?

Di sidang umum PBB, mayoritas negara setuju untuk penghentian kekerasan terhadap bangsa Palestina. Tapi ironisnya, Israel malah melabeli UNRWA sebagai teroris, hingga menyerang konvoi kemanusiaan mereka.

“Bagaimana mungkin sebuah badan PBB yang ditugasi mengurus pengungsi, dilabeli sebagai sebuah organisasi teroris dan kegiatan kemanusiaannya terus dibatasi di sana-sini. Konvoi yang membawa bantuan kemanusiaan pun tidak luput dari serangan,” ucap Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi.

Ingatan di Tengah Mereka yang Mulai Melupakan

Namun, di tengah dunia yang seolah mulai melupakan Gaza, masih ada yang tak henti menebarkan harapan.

Aksi boikot untuk produk terafiliasi Israel masih berlangsung, karena satu rupiah yang kita belikan ibarat satu peluru yang diarahkan kepada bangsa Palestina.

Selain itu, suara dukungan untuk Palestina masih terdengar, meski tak semembahana sebelumnya. Di berbagai belahan dunia masih ada aksi long march menyuarakan dukungan.

Kemudian, penggalanan dana untuk Palestina juga masih berlangsung. Penyaluran terus dilakukan meski bertahap, mengingat situasi keamanan di sana.

Salah satu lembaga yang baru-baru ini menyalurkan bantuan langsung adalah Masjid Nusantara (MN). Pada 24 September 2024 lalu, MN menyalurkan bantuan bahan makanan ke tenda pengungsi di perbatasan Yordania – Palestina.

Sebelumnya, MN juga telah mengirim bantuan dalam beberapa tahap, di antaranya pakaian hangat, obat-obatan, makanan siap santap, dan air bersih.

“Kami percaya bahwa di tengah apatisme global, masih ada yang peduli pada nasib bangsa Palestina yang sedang berusaha memulihkan masa depan mereka,” tutur Program Dept. Head Masjid Nusantara, Agam Suryanata.

Seiring Langkah Kita, Pastikan Gaza Ada

Mungkin sebagian orang ada yang sudah letih dan apatis. Namun, harap diingat, bahwa saat sebuah ketidak adilan dianggap normal, saat sebuah kedzaliman terus dibiarkan, maka yang terjadi kepada Palestina bisa terjadi kepada bangsa manapun di dunia.

“Perumpamaan kaum mukmin dalam hal saling cinta, kasih sayang, dan empati di antara mereka seperti satu tubuh. Jika satu anggota tubuh sakit maka seluruh tubuh demam dan tidak bisa tidur.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Tahun telah berlalu, namun genosida di Gaza terus berlangsung. Dunia mungkin beranjak, tetapi bagi mereka yang tetap peduli, ingatan dan solidaritas adalah bentuk harapan. Karena selama masih ada yang peduli, Gaza tidak pernah benar-benar sendiri.


Referensi: TRT World; Humanti Project; Monjed Tarifi