Bagaimana ya rasanya menjadi minoritas dan hidup diantara mayoritas? Apalagi perbedaann itu adalah agama. Tentu akan lebih terasa perbedaannya karena secara hukum kehidupan pun berbeda.
Tempat ibadah yang menjadi penguat umat, harusnya terasa nyaman. Tapi, muslim Sadang tak memiliki itu. Musola mereka sederhana, bahkan kurang layak.
Wajar saja, jarak kampung yang jauh dari kota membuat bahan material pun sulit. Mata pencaharian mereka juga hanya buruh tani. Memanfaatkan alam sebagai bahan baku dominan.
Kampung Sadang ini letaknya di pelosok Manggarai Barat, NTT. Jumlah muslim di sana hanya sekitar 30 orang dengan jumlah 10 KK.
Bagi mereka punya mushola untuk shalat berjamaah saja sudah bersyukur. Padahal mushola yang mereka miliki kurang layak. Dinding hanya terbuat dari bilah bambu, lantai semen kasar, atap kayu tak tertutup. Wajar saja, mushola yang mereka bangun memang seadanya.
Lokasi Kampung Sadang yang jauh dari kota, membuat mereka kesulitan mendapatkan bahan material. Jadi mereka memanfaatkan sekitar untuk membangun sebuah mushola, Masyaallah.
Selain itu, mata pencaharian mereka hanya bertani jadi tak semudah itu membuat musola yang kokoh. Sedih, jika melihat kondisi muslim di Kampung Sadang ini. Walau begitu mereka tetap semangat dalam beribadah.
Salah satunya, Mamak Siti yang sudah berusia 73 tahun. Masyaallah usia tak jadi alasan mamak siti untuk tetap shalat ke musola.
Mamak Siti dan warga lainnya memiliki keyakinan yang kuat, bahwa agama Islam bisa berkembang di sana. Walau kondisinya mereka berada diantara warga non muslim.
Apa kabar dengan kita, yang jarak masjid tak jauh dari rumah dan kondisinya bagus juga nyaman? Sudahkah rajin shalat berjamaah di masjid?