Lahir sebagai yang termuda dari enam bersaudara, Ustadz Abu Bakar kecil jauh dari sifat manja khas anak bungsu. Sedari kecil, Ustadz Abu sudah berkemauan keras dan pantang menyerah. Ia berpikir, cukup fisiknya saja yang memiliki keterbatasan, tapi cita-citanya jangan.
Pria bernama lengkap Abu Bakar Thalib ini selalu penuh rasa ingin tahu dan haus ilmu sejak kecil. Di bangku SD, ia ingin mengetahui pelajaran SMP. Menginjak SMP, ia penasaran dengan ilmu di SMA. Begitu seterusnya.
Jakarta Kota ‘Orang Pintar’
Di tanah Bima sana, kata “Jakarta” adalah padanan dari gemerlap dunia. Begitupun di mata Ustadz Abu, Jakarta adalah tempat orang-orang pintar. Tempat yang Ustadz Abu impikan untuk memenuhi dahaga ilmunya. Maka saat kesempatan berangkat ke Jakarta muncul, Ustadz Abu langsung menyambutnya.
Orang tuanya tentu menentang. Kasih sayang mereka terwujud menjadi khawatir. “Jika di sini saja, semua keperluan harus dibantu orang tua, bagaimana di Jakarta sana? Siapa yang akan membantu?” Begitu kira-kira isi benak orang tua Ustadz Abu.
Akan tetapi, tekad kuat Ustadz Abu meluluhkan hati mereka. Dengan bercucur air mata dan doa, sang Ibu melepas Ustadz Abu. Pada saat itu, terjadilah satu peristiwa yang sangat membekas dalam hidup Ustadz Abu.
Di terminal, di depan bus yang sudah siap berangkat, sang Ayah memeluk Ustadz Abu dengan terisak-isak. Tangisan pertama Ayahnya yang Ustadz Abu saksikan. Lalu keluarlah untaian kata dari bibirnya.
“Nak, kamu ini lelaki. Ayah pun mendidikmu sebagai lelaki. Maka, bersikaplah sebagai lelaki. Jangan lemah. Hadapi apapun dengan kuat.”
Kalimat dari sang Ayah selalu terngiang-ngiang, mengiringi langkah Ustadz Abu hingga kini. Bahkan saat di Jakarta yang ia dambakan itu, ada yang tak sesuai harapannya, Ustadz Abu pantang menyerah.
Ustadz Abu menginjakkan kaki di kota ‘orang pintar’ ini pada 2014. Sebuah lembaga Islam memberinya beasiswa program tahfidz Al Quran. Lambat-laun, Ustadz Abu melihat sisi lain Jakarta.
“Dulu saya pikir, Jakarta itu isinya orang-orang pintar semua. Tapi pas di Jakarta, ternyata ada orang bodoh juga. Saya bertemu orang yang fisiknya normal, gagah, kuat, tapi dia menyodorkan tangan ke saya. Mengemis, dan tidak pergi sebelum saya kasih uang,” kenang Ustadz Abu.
Sadarlah Ustadz Abu, isi Jakarta beragam rupa. Sungguh hidayah Allah, di tengah rimba ibu kota, Allah justru mengarahkannya ke komunitas Islam dan pecinta Al Quran. Dalam waktu setahun dua bulan, Ustadz Abu berhasil menghafal 30 juz Al Quran. Gelar ‘Al Hafidz’ pun tersemat padanya.
Sabar yang Tidak Murahan
Setelah menyelesaikan program tahfidz dan mengabdi di almamaternya, datang tawaran kepada Ustadz Abu untuk mengajar di salah satu pesantren yang dikelola almamaternya. Tentu Ustadz Abu senang, tapi ada satu hal yang mengganjal. Lokasi pesantren tersebut jauh di pelosok Jawa Barat.
Desa Darmaraja, Sumedang, tempat pesantren itu berdiri, berkontur tanah perbukitan. Landai, curam, naik-turun. Ustadz Abu menyadari, kondisi geografis itu kurang ramah untuk fisiknya.
Ia sempat ragu dan kuatir, namun setelah istikharah, Ustadz Abu mengambil tawaran itu. Maka sejak 2016, Ustadz Abu memulai bab baru hidupnya sebagai pengajar tahfidz di pelosok Sumedang.
“Yang saya pelajari dalam hidup, orang itu gampang bilang ‘sabar’, padahal belum diuji. Kalau bilang ‘sabar’, tapi saat diuji masih caci-maki Allah, itu sabar yang murahan,” ungkap Ustadz Abu.
Lewat cara mengajar, Ustadz Abu menanamkan prinsip itu kepada anak didiknya.
“Kalau orang ngomong ‘syukur’, tapi keluar masjid lihat sandalnya ilang, dia masih marah-marah, itu bukan syukur,” tambah Ustadz kelahiran 1993 ini.
“Saya ajak mereka menghafal, belajar di alam, tanpa alas kaki. Menginjak batu dan tanah, merasakan sakitnya. Kenapa? Agar mereka belajar menyukuri hidup dalam kondisi apapun. Itulah sabar yang tidak murahan,” tuturnya.
Senjata Abadi Ustadz Abu
Ustadz Abu bersyukur mengenal Al Quran, karena ia mengaku pribadinya kurang baik sebelum mempelajari kitab Allah ini. Meski ia orang yang senang berkawan, tapi saat itu masih ada yang belum plong di hatinya.
“Hal baiknya, saya senang ketemu orang, senang bersilaturahmi. Tapi hal buruknya, saya jadi suka membandingkan, berpikir ‘seandainya’. Seandainya saya punya…” kisahnya.
Bahkan, Ustadz Abu sering ‘mendemo’ Allah.
“Ya Allah, kenapa dia yang kau beri tangan dan kaki? Padahal dia orang jahat. Kenapa bukan aku?” protesnya dalam doa.
Akan tetapi, jawaban Allah atas protesnya itu ia temukan sendiri dalam Al Quran. Dalam Surat Ar Rahman yang indah.
“Fabiayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dziban—maka nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan? Itulah ayat yang membuka mata saya, menyadarkan diri bahwa rezeki Allah itu banyak, itulah yang harus saya syukuri,” ungkapnya.
Dan memang banyak hal membahagiakan datang ke hidupnya. Setelah videonya yang pertama kali diangkat tim Masjid Nusantara viral, banyak yang menghubungi Ustadz Abu. Mayoritas memintanya mengisi acara motivasi.
“Saya punya ‘senjata’ menghadapi hidup. ‘Senjata’ abadi saya adalah syukur, dan kedamaian abadi saya adalah kematian,” pungkasnya.
Ustadz Abu Bakar adalah contoh sosok ulama tangguh yang istiqomah berdakwah di tengah segala keterbatasan, baik fisik maupun materi. Kamu bisa mendukung kegiatan Ustadz Abu Bakar maupun ustadz lainnya lewat link ini.