Anda menginjak sebuah paku di jalan. Apa yang akan terjadi?
Kecuali Anda titisan Gatot Kaca, yang namanya nginjak paku ya pasti akan terasa sakit, terluka, bahkan mungkin Anda pun berteriak meringis penuh lara.
Nah, gimana kalau sekarang pakunya berjumlah banyak, sebut saja seribu biji. Susun berdekatan di tempat yang sama, lalu Anda injak–kali ini apa yang akan terjadi?
Terasa “senut-senut” mungkin iya, tapi secara teori Anda tidak akan sakit atau terluka, apalagi berteriak.
Analogi tadi cukup mencerminkan animo publik terhadap pembantaian di Gaza hari ini. Sesaat setelah 7 Oktober, ketika pertama nonton berita kesadisan aksi Zionis di Gaza, kita ikut merasakan “sakit” dan “luka” mendalam. Begitu dalam, hingga kita pun lantas “berteriak” dan menunjukkan solidaritas di ranah publik.
Dua bulan pun berlalu. Setelah menyaksikan puluhan hingga ratusan video di Gaza, lama-lama kita pun menjadi kebal pada penderitaan saudara-saudara kita di sana.
Harga nyawa mereka perlahan kita anggap murah, enteng, dan, ya, biasa.
“Kondisi di sana akan segera membaik”–mungkin gitu pikir kita. Namun kita salah.
Pasca gencatan senjata jatuh tempo tanggal 1 Desember lalu, Gaza pun kembali digempur. Daerah selatan yang sempat jadi “zona bebas serangan”, sekarang masuk dalam target pemboman Israel.
Bahkan besoknya, tanggal 2 Desember, tercatat oleh Euro-Med Monitor sebagai “the deadliest day in Gaza” dengan lebih dari 1.000 korban jatuh dalam sehari (!!!), setara dengan kisaran korban selama 3 pekan di perang Gaza 2009.
Meski kondisi memburuk, rasanya animo publik pada Palestina terlihat turun. Tak ayal, masing-masing kita juga punya hidup; kerjaan mesti beres, skripsi yang harus kelar.
Tapi kalaupun kita mau pakai mindset “aku, aku, aku” ini, sejatinya ada alasan kuat kita merasa terusik.
Sekarang pertanyaannya, berapa jiwa lagi yang harus jatuh agar dunia terbangun dari tidurnya? Agar kita merapatkan kembali barisan untuk berisik dan bertindak demi Palestina?
Kalaupun mindset kita sudah begitu self-centered ini, saya akan sampaikan peduli untuk Palestina itu tidak cuma demi mereka di sana, tapi sejatinya juga demi maslahat kita sendiri.
“Hah, kok bisa?”
Begini, yang terjadi di gaza kerap dikategorikan oleh pakar hukum internasional sebagai “crime against humanity”, yakni kejahatan melawan kemanusiaan atau umat manusia.
Ini bukan pilihan kata yang sembarang; jujur awalnya saya juga bingung sama konsep ini. Kek, heran gak sih serangan terhadap satu wilayah bisa dianggap melawan umat manusia? Kok bisa yang diserang 2,3 juta warga Gaza, tapi seluruh 8,1 milyar umat manusia juga jadi korbannya?
Kenapa gak disebut “crime against Gazan” aja; kenapa harus jadi “crime against humanity”?
Kebingungan saya terjawab oleh kutipan dari filsuf Hannah Arendt soal pembantaian bangsa yahudi di Holocaust. Beliau menulis, “ a crime against humanity perpetrated on the body of the Jewish people.”
Maknanya apa? Betul, bahwa yang dibom, terluka, tertimbun, terbakar, adalah jasad dari satu bangsa “saja”. Tapi sejatinya yang ikut terkoyak-koyak adalah ruh dari seluruh umat manusia itu sendiri.
Dengan kata lain…
Hari ini, kita di Indonesia mungkin baik-baik saja secara jasmani. Namun, secara rohani ada “esensi manusia” kita semua yang sedang tergerus, tercemar, terserang, dan ternista–sepanjang genosida di Gaza masih berlangsung.
Jasad kita mungkin baik-baik saja, sehat tak terluka. Tapi ada hakikat kita semua sebagai manusia yang ikut tertembak, tercabik, terkoyak-koyak, selama pembantaian di Gaza kita biarkan berlanjut saja.
Na’udzubillah, bila kelak situasi di Gaza menimpa kita. Jangan kaget bila kita yang dahulu diam, niscaya akan didiamkan oleh dunia yang kemanusiaan di dalamnya kadung dibiarkan bobrok nan rongsok.
Dikutip dari utas Gilang Lukman di X
Foto: Wionews